Original page: http://www.dickelodeon.co.cc/2011/02/energy-saving-mode-blog.html#ixzz1JCqZ6BCc Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial

baner

SELAMAT DATANG DI BLOGE CAH ALA

Senin, 18 April 2011

Konflik Aceh

Kautsar, 24, seorang pemuda dan aktivis SIRA (Sentral Informasi
Referendum
Aceh), dalam sebuah wawancara dengan KONTRAS mengatakan: Konflik Aceh
bukan konflik etnis antara etnis Jawa atau lainnya di Indonesia.
Bukan
konflik agama. Di Aceh terjadi konflik nasional. Konflik nasional
Aceh
yang di dalamnya terdiri dari kaum kelas menengah dan bawah bersatu
menentang penindasan yang dilakukan oleh Republik Indonesia. Konflik
Aceh
adalah konflik rakyat dengan Indonesia.(KONTRAS No.123 Tahun IV 7 -
13
Februari 2 001).


Saya fikir konflik itu harus ditegaskan sebagai konflik antara rakyat
Aceh
dengan penguasa Indonesia. Yang kita sebut rakyat Aceh sekarang ini
adalah
semua penduduk Aceh yang kepentingannya dirugikan oleh pemerintah
pusat
RI, yang mempunyai perasaan tidak
puas kepada pemerintah RI, yang merasa diperlakukan tidak adil oleh
pemerintah RI, yang menunjukkan sikap menentang ketidakadilan
pemerintah
RI, yang mengajukan tuntutan kepada pemerintah RI dalam masalah-
masalah
keadilan politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, pendidikan, kebebasan berorganisasi, kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan berapat dalam jumlah kecil dan besar, kebebasan
turun
ke jalan melakukan unjuk rasa secara dapai.


Rakyat Aceh, penduduk Aceh - tani, buruh, nelayan, pedagang, miskin
kota,
kaum cendekiawan, ulama, kaum santri, pengusaha, pegawai pemerintahan
(sipil dan nonsipil) , kaum pendatang - berkonflik dengan pemerintah
pusat
RI. Hanya segelintir orang Aceh yang
betul-betul secara jiwa raganya menjadi alat jinak pemerintah RI,
menindas dan memperlakukan rakyat Aceh secara sewenang-wenang, itulah
yang
dapat dikategorikan sebagai musuh rakyat. Namun, kepada mereka juga
harus
diperlakukan secara hukum yang adil da n berbeda-beda. Ini merupakan
syarat yang memungkinkan mempersatukan seluruh bangsa Aceh dalam
front
perjuangan yang luas. Demi menggalang front itu untuk menghadapi
musuh
bersama, maka konflik yang tidak pokok seperti antara kaum buruh
dengan
majikan, h arus dapat dikebawahkan.


Pada bulan Maret yang lalu, kaum buruh pengangkutan di Aceh telah
melancarkan mogok menentang pemerasan oleh TNI/Polri terhadap para
supir.
Pemilik kendaraan bermotor, majikan para para supir memihak kepada
buruh
pengangkutan, karena kepentingannya sama,
sama-sama dirugikan oleh aparat RI. Aksi ekonomi ini punya arti
politik
sebagai bagian dari perlawanan terhadap aparat RI sekaligus bagian
dari
perjuangan nasional Aceh menentang kekuatan RI.


Segi pokok konflik itu adalah pemerintah Jakarta. Selama ini
pemerintah
Jakarta tidak mau mendalami sebab pokok konflik itu. Mereka hanya
menjalankan kemauannya sendiri menurut kehendak dan falsafah
feodalisme
Jawa, ambisi neo-imperium Mojopahit. Sebuah kekuasaan feodal,
otoriter dan
militerisme tidak mau peduli akan suara dan tuntutan adil rakyat yang
dikuasainya. Tidak ada hati nurani jujur dan ilmiah untuk
mempelajari,
meriset dan menghimpun pendapat massa rakyat Aceh, agar mereka tahu
sebab-musabab timbul perlawanan rakyat Aceh terhadap rezim Jakarta.
Tidak
mereka cari akar masalah. Sebagai contoh mereka mendeklarasikan
pelaksanaan syariah Islam. Padahal bukan itu penyebab konflik pokok.
Teungku Daud Beureu_h sudah pernah merinci dengan baik syaria h
Islam.
Kandungannya bukan hanya soal agama, melainkan juga politik, ekonomi,
sosial, budaya, adat-istiadat.


Rezim RI memberi berbagai janji, tetapi tidak ditepatinya. RUU NAD
(Rencana Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam) yang diserahkan oleh
Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud kepada parlemen RI ketika beliau masih
menjabat Gubernur Aceh, sampai sekarang tak tentu j untrungannya.
Soal
bagi hasil pendapatan minyak dan gas di Aceh, tak dilaksanakan
Jakarta.
Tuntutan Referendum yang demokratis, malah dituduh oleh TNI/Polri
sebagai
aksi makar. Aktivis SIRA ditangkap, diculik dan dibunuh secara gelap.
Koordinatornya, Muh ammad Nazar ditangkap dan dihukum. Sebaliknya,
pelanggaran HAM yang dilakukan TNI/Ponri dibiarkan terus tanpa
diadili dan
dihukum. Jenderal-jenderal TNI pengendali pelanggaran HAM tak diutik-
utik.
Tidak ada usaha sistematis, tekun dan ilmiah dari pihak RI
untuk menyelesaikan konflik Aceh secara demokratis dan damai,
kecuali
dengan kekerasan senjata. Dialog yang telah berjalan dengan
didampingi
mediator internasional (Henry Dunant Centre), bukan ditingkatkan
dengan
menyertakan wakil-wakil rakyat Aceh yang bulat bersama wakil ASNLF
yang
dibentuk oleh Hasan di Tiro, malah pemerintah RI mengeluarkan dekrit
yang
disebut INPRES Nomor 4 Tahun 2001 sebagai payung pelindung puluhan
ribu
pasukan TNI (AD, AL, AU) dari berbagai jenis grup tempur dengan tugas
melakuk an operasi gabungan untuk menghancurkan Aceh. Keputusan yang
sangat militerisme itu, akan menghancurkan Aceh seperti menghancurkan
secara menyeluruh dan melakukan pembunuhan massal di Timor Timur pada
masa
menjelang pelaksanaan referendum untuk merdeka .


Tindakan rezim Jakarta itu merupakan cara penyelesaian konflik Aceh
secara
antagonisme. Berarti penghancuran lawan secara nonhumanisme, secara
nondemokratis dan secara fasisme. Dengan begitu sudah jelas, rakyat
Aceh
tidak lagi termasuk dalam perlindungan hukum RI. Ini pertanda
Pancasila
hanya jadi bahan bualan untuk mempersolek diri seolah-olah rezim
Jakarta
serta TNI/Polri-nya berjiwa manusia. Tindakan rezim Jakarta itu juga
merupakan pengabsahan kepada bangsa Aceh sebagai nasion di luar NKRI.
Dengan In pres Nomor 4 Tahun 2001 itu, pemerintah RI telah menabalkan
dirinya sebagai musuh rakyat Aceh. Berarti konflik Aceh dengan
pemerintah
RI merupakan konflik nasional, konflik antara bangsa Aceh dengan
rezim
Jakarta.


Arah bagi Aceh


Menghadapi keadaan yang diciptakan oleh rezim Jakarta atas Aceh, maka
rakyat Aceh terpanggil untuk bersatu padu menghadapinya. Dengan
persatuan,
GAM-AGAM dan seluruh komponen masyarakat Aceh, dapat kiranya bangsa
Aceh
membuat suatu program strategis dan t aktis bersama untuk menghadapi
keputusan brutal RI atas Aceh. Dengan menyisihkan perbedaan yang
dapat
merintangi tujuan strategis bagi penentuan nasib diri sendiri ,
bangsa
Aceh maju bersama-sama dalam satu front yang kukuh. Bersama-sama
mengadakan ber bagai aksi di Aceh dan di luar Aceh menentang operasi
militer RI. Bersama-sama memperluas opini umum dunia tentang
kejahatan
TNI/Polri atas rakyat Aceh. Menghimpun setiakawan rakyat
internasional
untuk Aceh. Menghimbau PBB agar mengirimkan ke Aceh penel iti dan
pengumpul fakta pelanggaran HAM oleh TNI/Polri. Seluruh komponen Aceh
termasuk anggota DPRD dan pejabat eksekutif tidak seharusnya kendor
mengajukan tuntutan adil dan obyektif rakyat Aceh di bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial kepada pemerintah
RI. Menuntut penyelesaian konflik Aceh secara demokratis dan damai
melalui dialog. Referendum Aceh merupakan tuntutan demokratis rakyat
Aceh
dan sebagai hak suatu bangsa dalam perjuangan menentukan nasibnya dan
masa
depan negerinya.


Stockholm, 2004




----------------------------------------------------------------------
----------









Semua orang adalah seniman setiap tempat adalah panggung !
Belajar dan berkarya senilah bersama Rakyat miskin untuk membangun budaya
pembebasan !
Silakan kawan kawan kirimkan karya seni berupa tulisan sastra seperti
puisi,cerpen, gambar gambar berupa lukisan, kartun ,komik ,atau undangan
kegiatan kebudayaan yang membangun budaya pembebasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar